KPAI, LPSK dan KPPPA Gelar FGD Pemenuhan Hak Restitusi Bagi Anak Korban Kekerasan, Eksploitasi dan TPPO

detiktifspionase.id-Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dan dialog pemenuhan hak restitusi bagi anak korban kekerasan, eksploitasi dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Kegiatan yang dilaksanakan selama tiga hari, Kamis hingga Jumat (01-03/05/2024) ini merupakan tindak lanjut dari perjanjian kerjasama antara KPAI, LPSK dan Kementerian PPPA tentang Sinergi Advokasi Pemenuhan Hak Restitusi dalam Perlindungan Anak Korban Tindak Pidana. 

Hadir sebagai narasumber yakni Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Ai Maryati Solihah Ketua KPAI, Livia Iskandar Wakil Ketua LPSK, dan dihadiri puluhan peserta baik secara luring maupun daring.

Dalam sambutannya, Nahar menyampaikan bahwa resitusi berperan sebagai salah satu bentuk upaya ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku atas dampak tindak pidana yang dialami oleh anak korban. 

“Sehingga hak anak korban jangan sampai terabaikan, hak-haknya harus dipenuhi termasuk restitusi, sebab anak korban mendapatkan penderitaan seumur hidup baik fisik dan psikis, itu sebabnya harus dipulihkan, selain itu akses untuk mendapatkan restitusi tersebut negara harus hadir, agar anak-anak tentunya dapat menggapai masa depannya kembali, harapannya FGD hari ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dan menghasilkan rekomendasi yang disepakati oleh peserta,” tutur Nahar.

Sementara itu, Ai mengatakan, KPAI dalam pengawasannya masih menemukan gap dalam implementasi pemenuhan restitusi terhadap anak korban, diantaranya yakni masih minimnya pengetahuan mengenai pemenuhan hak restitusi untuk anak korban pidana di tingkat APH dan Pendamping Korban. 

“Perlu diperkuat pengawasan terhadap implementasinya, dalam hal ini political will pemda sangat penting sebagai bentuk komitmen pemda, jika gap ini terus berlangsung tanpa ada pengawasan independen, maka rantainya akan sama, tutur Ai.

Dalam pendampingan kasus lanjutnya, keterampilan dan pendekatan pendamping dengan anak korban, kemudian juga penting untuk menyepakati mekanisme SOP-nya sesuai standar, dalam hal akses pemenuhan restitusi bisa dengan perwakilan LPSK terdekat.

Livia menjelaskan, LPSK memiliki mandat tugas terkait restitusi yakni memberikan perlindungan kepada saksi dan korban dalam proses peradilan pidana yang dapat diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai.

“Kewenangan LPSK dalam melakukan penilaian ganti rugi pemberian Restitusi dan Kompensasi, menghitung, lalu diajukan kepada JPU, untuk dimasukkan ke dalam tuntutan yang kemudian diputuskan oleh Majelis Hakim yang menyidangkan perkara," lanjut Livia.

"Jika hakim tidak menemukan permohonan Restitusi tersebut maka, hakim melalui penuntut umum atau pendamping dapat memberitahukan kepada pihak korban mengenai hak untuk mendapatkan restitusi dan tata cara pengajuannya pada saat sebelum dan/atau proses persidangan," tegasnya.

Di akhir sesi, seluruh peserta menyepakati beberapa rekomendasi sebagai berikut:

1. Lembaga pendamping seperti UPTD PPA/P2TP2A, KPAID memastikan pemenuhan hak korban tindak pidana kekerasan, termasuk kekerasan seksual dan menginformasikan hak atas restitusi kepada anak korban, keluarga dan APH;

2. Pentingnya upaya advokasi, sosialisasi dan penyadaran pada Aparat Penegak Hukum (APH), Organisasi Perangkat Daerah (OPD), Lembaga Layanan Perlindungan Khusus Anak, UPTD PPA, masyarakat tentang pemenuhan hak restitusi bagi anak korban tindak pidana kekerasan, termasuk kekerasan seksual;

3. Dalam hal laporan kasus kekerasan terhadap anak tidak ditindaklanjuti atau lambat dalam proses hukum, diperlukan respon pengawasan dari pihak terkait;

4. LPSK memastikan bahwa akses pemenuhan hak saksi dan korban, termasuk penghitungan restitusi dari provinsi Jambi, Sumsel dan Bengkulu tetap dapat dilaksanakan;

5. Perlunya dibentuk perwakilan LPSK di daerah provinsi Jambi, Sumsel dan Bengkulu, agar pihak korban lebih mudah berkoordinasi dan meminta bantuan dalam mengakses pemenuhan hak saksi dan korban, termasuk penghitungan restitusi;

6. Dinas Pendidikan harus memantau keberlanjutan pendidikan bagi korban anak, diharapkan korban tidak dikeluarkan dari sekolah;


7. Dinas Kesehatan kedepan perlu menyediakan psikolog klinis (ASN atau PPPK dll melalui koordinasi MenPANRB), sehingga bisa membantu korban anak. Selain itu, dapat bekerja sama dengan psikolog yang memiliki Surat Izin Praktik Psikolog (SIPP) yang masih berlaku;


8. Diperlukan upaya penertiban dan pengawasan aplikasi pornografi yang menimbulkan anak terpapar pornografi.

Penulis: Khotib Syarbini

Editor: Khotib Syarbini

Facebook Comments

0 Komentar

TULIS KOMENTAR

Alamat email anda aman dan tidak akan dipublikasikan.